10 Agustus 2011

Renungan untuk kembali pada Hindu Jawa

A. PENDAHULUAN.

Kata “Jawa” untuk membatasi lingkup wilayah sesuai dengan ruang & waktu. Sehingga dalam hal ini tidak menyoroti Hindu Bali, karena yang diupayakan dengan tulisan ini adalah menampilkan gagasan Hindu Jawa kedepan. Jadi yang sudah Hindu tidak perlu merasa terusik oleh gagasan ini, meskipun baik juga menjadi bahan renungan.

Ada pemahaman yang mutlak benar sepanjang masa, ada pemahaman yang benar hanya untuk ruang & waktu tertentu. Maka dari itu pasti beda Hindu Jawa dengan Hindu Bali, termasuk dengan yang ada di India. Bahkan di India sendiri terdapat puluhan Sekte. Guruji S.A. Bhandarkar ketika ditanya apakah Hindu perlu diseragamkan, dengan tegas menjawab “ Tidak perlu, anda tidak perlu seperti saya, silahkan tampil seperti apa adanya”. Justru inilah kelebihan Hindu dibanding dengan agama lain yang mengetrapkan syariat yang kaku tanpa memperhatikan ruang & waktu, padahal ruang & waktu (jaman) adalah ciptaan Tuhan yang perlu diikuti (kata Swami Vivekananda). Jadi tidak perlu menyoroti Hindu yang ada di Bali, karena Bali sudah mayoritas Hindu apapun bentuknya & dibanding dengan propinsi lain sudah lebih maju dalam bidang agama, ekonomi, social, budaya & spiritual, bahkan bisa menjadi contoh sebagai propinsi yang konsisten menampilkan jatidirinya.

B. KEMBALI MENJADI HINDU.

1. Jatidiri bangsa.

Dr. Filino Harahap, dalam kuliah Studium Generale ITB th 74, mengungkapkan dokumen diperpustakaan Negara Washington yang disusun oleh 10 Doktor terkemuka didunia, menyimpulkan bahwa Indonesia akan menjadi Negara adidaya apabila kembali pada jatidirinya. Jatidiri mencakup Kebudayaan, Adat istiadat, Kemandirian, Spiritualisme, dll nilai luhur dalam praktek kehidupan sehari hari.

Kebenaran pernyataan para ahli tsb terbukti oleh fakta bahwa Negara maju, selalu tampil dengan jatidirinya. Seperti Cina, Jepang, Saudi Arabia & Inggris, bahkan mampu mempengaruhi bangsa lain untuk mengikuti budaya dan adat istiadatnya.

Dalam pada itu banyak para ahli yang memprediksi kejayaan Indonesia dimasa mendatang, salah satunya adalah Goldman Sach mengatakan tahun 2050 Indonesia menjadi Negara maju no 7 didunia setelah China, USA, Hindia, Brasil, Mexico & Rusia. Prediksi ini sepertinya cocok dengan yang dikatakan (disabdakan) Sang Prabu Jayabaya bahwa di tahun 2000 Saka (2078 M) Nusantara menjadi Negara Adidaya. Berarti dari tahun 2050 s/d 2078 tahap demi tahap peringkat Indonesia meningkat dari no 7 menjadi no 1. Namun atas dasar pendapat para ahli tsb diatas, mustahil apabila mayoritas bangsa ini masih menganut agama yang faktanya menggusur budaya & nilai nilai luhur bangsa. Oleh karena itu harus kembali ke agama yang dapat memelihara dan mengembangkan budaya bangsa, sebagai syarat mutlak untuk menjadi Negara Adidaya. Satu satunya agama yang dapat menumbuh kembangkan budaya bangsa adalah Hindu, karena memang sejak dahulu kala bangsa ini beragama Hindu, yang kemudian menimbulkan budaya bangsa yang adiluhung ini.

2. Kejayaan bangsa dijaman Hindu.

Diabad ke 7, ketika dunia Arab masih mengalami zaman Jahiliyah dimana perempuan hanya sebagai komoditas sex, di Jawa sudah berdiri kerajaan besar yang dipimpin seorang perempuan, yang bernama Kanjeng Ratu Shima (Sahana). Ini sebagai bukti bahwa nilai peradaban kita sudah jauh lebih tinggi dengan menjunjung seorang perempuan menjadi raja & panutan.

Diabad ke 9, ketika dunia barat belum mampu membangun monument raksasa, kita sudah membuat candi Borobudur sebagai keajaiban dunia & lagi pula dibangun oleh seorang perempuan bernama ratu Pramodhawardani. Sementara itu, sang suami yang bernama Prabu Rakai Pikatan membangun candi Prambanan sebagai candi Hindu terindah didunia.

Diabad ke 13, ketika Ku Bilai Khan, raja diraja yang menguasai sepertiga dunia, mengirim utusan ke kerajaan Kediri agar tunduk dibawah Mongol, Raja Kertanegara justru menantang perang dengan memotong sendiri hidung & telinga utusan tadi serta disuruhnya pulang. Pasukan Mongol yang kemudian datang dihancurkan oleh menantu Kertanegara yaitu R. Wijaya.

Diabad 14, Majapahit dimasa raja Hayam Wuruk bersama patih (perdana menteri) Gajah Mada, berhasil menyatukan wilayah Nusantara bahkan hampir seluruh Asia Tenggara.

Inilah rangkaian kejayaan bangsa dijaman Hindu yang menampilkan jatidiri dengan ciri ciri percaya diri, mandiri, berani & berpegang teguh pada kebudayaan sendiri.

Dari rangkaian sejarah diatas, dengan menggunakan akal dan penalaran (sebagaimana Hindu mendorong penggunaan nalar, bukan melarang), dapat diambil pelajaran sbb :

a. Sebagai bangsa yang mayoritas Hindu pernah mengalami kejayaan, yang berarti mendapat berkah Tuhan Yang Maha Esa, sudah selayaknya kembali kepada Hindu.

b. Sebagai bangsa Hindu selama 15 abad, yang telah berperan besar dalam membentuk Jatidiri bangsa, mutlak perlu kembali ke Hindu (agar kembali pula Jatidirinya), apabila ingin kembali menjadi Negara Adidaya.

C. ANALISA

. 1. Budaya Jawa Kuno.

Antropologi menemukan kerangka manusia kuno dilembah Bengawan Solo yang berusia empat ratusan ribu th yl & termasuk kerangka tertua didunia, dinamakan Homosapiens Soloensis, sebagai nenek moyang manusia Jawa.

Nabi Adam, yang oleh kaum agama Semawi dianggap manusia pertama didunia apabila ditelusuri hingga sekarang menurunkan tiga ratusan generasi, berarti baru hidup sekitar sepuluhan ribu th yl.

Teori diatas diperkuat oleh Stephen Oppenheimer, peneliti dari Oxford, didalam bukunya “Eden in the East” (Okt 2010) yang menyebutkan bahwa asal mula peradaban berasal dari Indonesia yang dahulu disebut sebagai Sundaland. Ketika es mencair sepuluh ribuan tahun yl permukaan air laut naik hingga 150 meter yang menenggelamkan Sundaland menjadi 17 ribuan pulau seperti sekarang ini. Penduduk menyebar ke Hindia, Mesopotamia, kepulauan Pasifik, Cina, Jepang & Amerika Selatan.

Johannda Nichols, ahli rekonstruksi linguistic menyebutkan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sebagai pusat penyebaran bahasa bahasa dunia, setelah akhir jaman es.

Masih banyak lagi peneliti dunia yang memperkuat teori diatas, seperti Arysio Nunes Dos Santos, Anthony Reid, Peter Belwood & Alexander Adelaar.

Kesimpulannya adalah manusia Indonesia & peradabannya sebenarnya jauh lebih maju dari bangsa bangsa lain didunia.

Peradaban itu dibangun oleh Kepercayaan yang dianut, termasuk peradaban Jawa, yang pasti sudah dimulai ribuan tahun sebelum Hindu datang. Ternyata diluar suku Jawa, banyak sekali kepercayaan yang sudah mengakar menjadi budaya daerah, seperti yang ada di Jawa Barat, Kalimantan, Sumatra Utara dan Sulawesi Selatan. Ketika Hindu masuk ke daerah daerah tsb, terjadilah perkawinan antara kepercayaan lokal dengan agama Hindu, yang kemudian menjadi Hindu Jawa, Hindu Sunda (Sunda Kawitan), Hindu Bali, Hindu Kalimantan (Kaharingan), Hindu Batak, Hindu Bugis (Toraja), dstnya yang pada gilirannya mengakar membentuk Budaya masing masing Daerah, yang kemudian dideklarasikan oleh Mpu Tantular (th 1365) sebagai : “Bhinneka Tunggal Ika”.

Jadi ketika Hindu datang ke Jawa, bukan masuk keruang hampa, tetapi ruang yang sudah sarat dengan nilai nilai berkeTuhanan. Faham “Manunggaling Kawula Gusti” sebagai contoh filsafat Jawa kuno yang ternyata memiliki makna yang sama dengan dasar ajaran Hindu. Bahkan peringatan 7 hr, 40 hr, 100 hr dan 1000 hr bagi yang telah meninggal dunia adalah tradisi Jawa Kuno sebelum Hindu masuk, karena di Hindia tidak ada peringatan semacam ini.

2. Penggusuran Jatidiri.

Pengaruh Barat & Arab, yang menjadikan kebarat baratan dan kearab araban, adalah penyebab utama tergerusnya Jatidiri bangsa. Semua ajaran agama yang asli seperti yang diwahyukan Tuhan pasti benar, tetapi yang disebarkan oleh para pengikutnya, telah terkontiminasi oleh kepentingan politik, ekonomi dan budaya yang dianut oleh ybs.

Al Quran dibukukan dan dibakukan pada zaman Khalifah Usman, belasan tahun setelah nabi wafat. Waktu itu diinstruksikan kepada seluruh komponen bangsa untuk mengumpulkan ayat ayat agar disusun menjadi kitab. Terkumpullah 7 versi kitab. Oleh Usman ditetapkanlah salah satu versi sebagai Al Quran, sedang versi yang lain diperintahkan untuk dibakar. Namun yang beredar hingga sekarang tak berubah adalah Al Quran yang disusun 150 th kemudian, yang ternyata berbeda tata bahasa dan susunannya dengan yang telah ditetapkan oleh Usman. Timbul dugaan :

a. Adanya 7 versi yang disusun setelah nabi wafat, pasti masing masing tidak seluruhnya benar dan tidak lengkap.

b. Al Quran yang terpilih, pasal demi pasal tidak tersusun berdasar waktu yang berurutan sehingga bila ada wahyu & peristiwa yang terlewat, tidak ketahuan.

c. Materi berdasar informasi dari ratusan pengikut nabi, sehingga bisa terjadi terkontiminasi oleh kepentingan pribadi dan golongan.

Contoh beberapa ayat yang kontroversial, a.l.:

1). Al Mu’minuun ayat 5 & 6 : Orang orang yang menjaga kehormatannya, kecuali terhadap isteri isteri mereka atau budak budaknya, maka sesungguhnya mereka tiadalah tercela.

An Nisaa ayat 24 : Diharamkan perempuan perempuan yang bersuami, kecuali budak budak yang menjadi milikmu.

Jelas ayat ini tidak sesuai dengan budaya Jawa dan merendahkan martabat perempuan Jawa. Tidak heran bila TKW digauli majikan Arab karena sudah dibeli layaknya budak.

2). Al Baqarah ayat 120 : Orang orang Yahudi & Nasrani tidak senang kepadamu sampai engkau mengikuti agama mereka ……

Betulkah Tuhan menyampaikan pengabaran ini? Pernyataan ini terlalu rendah untuk diwahyukan Tuhan. Ini memberi kesan bahwa Tuhan hanya berpihak pada umat Islam, sedang kenyataannya umat Nasrani jumlahnya hampir 2 X umat Islam. Kepribadian bangsa Indonesia, yang terbukti dalam sejarah, dapat menerima masuknya semua agama & dapat hidup rukun bersama dengan semua umat beragama, jelas tidak cocok dengan ayat tsb diatas.

Dan seterusnya, masih banyak sekali yang kontroversial dan tak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Sadar tak sadar telah terjadi pembodohan umat melalui dogma yang dipercayai benar padahal tidak melalui akal sehat. Pembodohan yang terus menerus semacam ini pada gilirannya betul betul menjadi bangsa yang bodoh seperti telah terjadi sekarang ini. Jelas ini bertentangan dengan ajaran Hindu yang mengutamakan dialog yang cerdas & bermuatan spiritual, seperti didalam Bhagavad Gita & Sri Yoga Vasishtha (karya Resi Walmiki); tiada lain agar umat terhindar dari kebodohan. Ajaran Hindu mengatakan bahwa orang orang bodoh pada akhirnya menjadi penghuni neraka.

Pembodohan sistemik seperti diuraikan diatas yang meliputi segala bidang (agama, budaya, ekonomi, politik, social & budaya), menjadikan bangsa ini sudah betul betul kehilangan Jatidiri. Oleh karena itu Jatidiri harus segera diketemukan kembali dengan satu satunya jalan kembali kepada Hindu.

3. Kembali menjadi Hindu Jawa.

Kembali menjadi Hindu, mengandung maksud mengajak umat yang memiliki akal sehat dan hati nurani yang murni sehingga ragu dalam beragama hanya karena mengikuti mayoritas, untuk kembali menjadi Hindu Jawa. Seperti masyarakat Islam KTP yang berjumlah puluhan juta penduduk, yang terdiri dari 2 golongan.

Golongan I : Penganut Islam sekedar untuk tidak disebut atheis.

Golongan II : Penganut Aliran Kepercayaan.

Kedua golongan ini pada umumnya memiliki keyakinan bahwa Tuhan ada didalam lubuk hati nuraninya & bercita cita untuk bertunggal dengan Tuhan (manunggaling kawula Gusti). Ini adalah prinsip Hindu yang tidak sama dengan Islam dimana pemahamannya adalah bahwa Tuhan Allah bersinggasana jauh di atas langit sap 7, tidak didalam hati setiap umatNya. Doa umat Islam apabila meninggal diharapkan berada disisiNya, bukan manunggal seperti pemahaman orang Jawa dijaman dahulu, yang ternyata sama dengan ajaran Hindu.

Untuk ini diperlukan langkah langkah, al :

a. Menyusun buku tuntunan Hindu Jawa.

b. Membuka website pokok pokok ajaran Hindu Jawa.

c. Koordinasi dengan komunitas Jawa yang sudah beragama Hindu.

d. Menyiapkan sarana & prasarana untuk penyebaran ajaran Hindu Jawa.

e. Menyadarkan perlunya gerakan kembali menjadi Hindu Jawa sebagai satu satunya langkah utama untuk mengantar Indonesia ini menjadi Negara Adidaya & pusat kebudayaan dunia.

Tentu saja nilai nilai dasar Hindu tetap menjadi keyakinan didalam ajaran Hindu Jawa, seperti :

· Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Tunggal, yang meliputi semesta alam & seisinya, yang bersinggasana didalam setiap kehidupan & tempat bertunggalnya kembali setiap jiwa (moksha / manunggaling kawula Gusti).

· Berlakunya hukum Karma (ngunduh wohing panggawe), sebagai perwujudan dari keadilan Tuhan Yang Maha Adil. Hukum Karma berlaku terus meskipun seseorang telah meninggal dunia yang kemudian mengalami reinkarnasi (tumimbal lahir).

Mengapa perlu label “Jawa” dibelakang kata “Hindu”? Jawabnya terangkum dibawah ini.

Jawa s/d abad 16 mayoritas beragama Hindu, ketika Islam datang berangsur angsur pindah agama. Dakwah yang disampaikan untuk menggusur Hindu, yang hingga sekarang menjadi penilaian umum adalah : Hindu bertuhan banyak & menyembah para dewa (berhala). Salah satu contoh didalam Ensiklopedi Indonesia ditulis : “Agama Hindu di Jawa terutama merupakan pemujaan Syiwa (Batara Guru & Surya), walaupun disampingnya juga terdapat penyembahan Wisynu”.

Satu penilaian ini saja sudah cukup membuat orang tidak akan kembali ke Hindu. Maka harus menyikapi secara bijaksana (karena berada ditengah tengah mayoritas Islam), dengan menentukan pilihan yang disodorkan didalam Bhagavad Gita (7.23) :

Orang yang menyembah para dewa akan menuju planet planet para dewa, tetapi para penyembah Tuhan akhirnya mencapai tempat tinggal yang tertinggi.

Ditegaskan lagi oleh Resi Walmiki (th 150) didalam karyanya Sri Yoga Vasishtha :

Jiwa jiwa yang memuja hantu & iblis akan mencapai alam mahluk halus. Jiwa jiwa yang memuja para dewa akan mencapai alam dewa loka. Jiwa jiwa yang memuja Brahm (Sang Hyang Widhi) akan mencapai alam sejati (keba-hagiaan abadi yang tak tergantung duniawi).

Yang memuja gambaran (arca, lukisan, figure, dsb) akan menjalani kelahiran yang berulang ulang.

Tuhan tidak boleh dipuja secara pemujaan kepada arca arca. Tuhan harus dipuja melalui pikiran, amalan & iman yang teguh.

Seseorang yang bersandar kepada keluarga, teman, harta benda, dewa dewi & makhluk makhluk suci, tidak akan mencapai Sang Atman (Tuhan yang hadir didalam setiap jiwa).

Jelas sekali bahwa Hindu Jawa harus memilih langsung menyembah Sang Hyang Widhi, sebagai Tuhan yang tidak berbentuk (konsep Nirguna Brahman). Sekali lagi untuk menghindari provokasi dari agama lain bahwa Hindu menyembah para Dewa.

Dalam hal ini Hindu Jawa sama sekali tidak mempersoalkan Dewa dewa sebagai personifikasi, penggambaran atau simbolisasi Tuhan, seperti Dewa Brahma sebagai Tuhan Sang Pencipta, Dewa Wisnu sebagai Tuhan Sang Pemelihara & Dewa Siwa sebagai Tuhan Sang Pemrelina. Apabila Hindu Bali menempuh dharma ini tidak perlu dipermasalahkan.

Juga tidak mempersoalkan cara penyembahan secara bertahap sesuai dengan tingkat spiritual masing masing umat Hindu, seperti : Awalnya memuja Arca Dewa untuk membantu konsentrasi kepada Tuhan, kemudian memuja Dewa sebagai simbolisasi Tuhan dan akhirnya memuja langsung Sang Hyang Widhi. Berikut adalah pandangan Swami Vivekananda dalam buku “Hindu agama universal” tentang hal ini :

Gambar, symbol & gantungan untuk menyandarkan gagasan spiritual, tidak harus diberikan kepada semua orang, tetapi kepada mereka yang memerlukannya. Namun mereka yang tidak memerlukannya, tidak punya hak untuk mengatakan bahwa hal itu salah.

Hindu Jawa termasuk yang tidak memerlukan patung & dewa, untuk menghindari provokasi dari agama lain yang telah “menguasai” masyarakat Jawa. Oleh karena itu memilih seperti yang dikatakan Swami Vivekananda : Agama sebagai ilmu harus didekati dengan pemikiran rasional (akal sehat) dan pengolahan jiwa.

Dalam kaitan ini, Ngakan Made Madrasuta didalam buku “Petunjuk untuk yang ragu”, mengatakan bahwa Hindu telah menyediakan jalan hidup melalui prinsip samaya dharma yaitu nilai nilai etika yang perlu ditempuh seseorang untuk menyesuaikan hidupnya agar selaras dengan masyarakat sekitarnya, seperti :

a. Ahimsa (non kekerasan).

b. Satya (berkata benar & memenuhi perkataannya).

c. Asteya (tidak mencuri & korupsi).

d. Daya (kasih sayang sesama hidup).

e. Titiksa (sabar).

f. Vinaya (rendah hati).

g. Indriyanigraha (pengendalian indriya).

h. Santi (menjaga pikiran damai).

i. Bhakti (pemujaan kepada Tuhan).

Sembilan butir ini yang perlu digarap melalui pengolahan hati dan pikiran untuk mencapai tujuan utama yaitu Moksha (manunggaling Kawula Gusti = bersatunya Atman dengan Brahman). Dengan demikian Hindu Jawa memilih Jnana Yoga yaitu mewujudkan Tuhan didalam kesadaran batinnya dan meningkatkan kemampuan untuk membedakan yang nyata dengan yang maya, yang abadi dengan yang berubah ubah, yang benar dengan yang salah (berwatak wiweka).

Perjalanan hidup untuk menuju Moksha, digambarkan didalam Bhagavad Gita (6.34) sebagai perjalanan kereta berkuda dimana Sang Atman ibarat penumpang, badan ibarat kereta, kecerdasan sebagai kusir, pikiran sebagai tali kendali dan pancaindera sebagai kelima kuda. Spiritualis Jawa pak Mertowardoyo, dalam bukunya “Bisikaning Suksma”, memerinci kereta berkuda sedikit berbeda yaitu pikiran sebagai kusir & 4 nafsu (Satwam, Rajas, Asmara & Tamas) sebagai 4 kuda. Jadi jelas sekali, apakah perjalanan mencapai tujuan atau tidak, tergantung dari pada kemampuan kusir. Apabila kusir patuh dan selalu mendengarkan petunjuk dari Atman (mendengarkan suara hati nurani) maka dengan mengendalikan nafsu akan sampai pada tujuan yaitu Moksha. Tetapi apabila kusir tidak patuh pada penumpang artinya tidak mendengarkan suara hati nurani, tetapi menuruti saja apa kemauan kuda kuda (nafsu nafsu) yang cenderung liar tak terkendali (menuju kepada pemuasan nafsu), maka tidak akan sampai pada tujuan utama melainkan sampai pada segala macam kerusakan.

Maka dari itu pentingnya kecerdasan & menghindari kebodohan (sebagaimana berkali kali diingatkan diatas), karena kebodohan (yang selalu kalah oleh pancaindera & nafsu nafsu) tidak akan mencapai Moksha.

D. RANGKUMAN.

1. Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi Negara Adidaya kedepan, karena hanya Hindu satu satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan Jatidiri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi Negara maju.

2. Disisi lain potret bangsa Indonesia dimasa kini sudah kehilangan Jatidirinya, disebabkan oleh pengaruh syariat agama yang faktanya mengetrapkan budaya Arab yang menggusur budaya bangsa yang adiluhung.

3. Oleh karena itu langkah awal yang perlu ditempuh adalah menjadikan Jawa kembali Hindu dengan penyebaran ajaran yang bebas dari provokasi bahwa Hindu menyembah para Dewa.

4. Dengan tetap berpegang pada ajaran dasar Hindu tentang Tuhan yang meliputi semesta alam & tempat bertunggalnya kembali setiap jiwa (Moksha) serta berlakunya hukum Karma yang berlanjut hingga reinkarnasi, Hindu Jawa memilih ajaran yang mengutamakan pengolahan hati dan pikiran berdasarkan keTuhanan Yang Maha Tunggal. Jadi tidak mempersonifikasikan Tuhan dengan apapun & tidak melalui penyembahan kepada para dewa.

5. Inilah gagasan bagaimana menjadi Hindu (Jawa) yang sebenarnya & masa depan Hindu sebagai pemeluk agama mayoritas didalam Negara Adidaya Indonesia yang tidak ada lagi praktek pembodohan sistemik baik oleh ajaran agama sendiri maupun oleh pemerintah.

8 Agustus 2011

Apakah Tuhan semua agama berbeda?

APAKAH TUHAN SEMUA AGAMA BERBEDA ?

A. PERSAMAAN PENDAPAT.

Pada dasarnya semua agama mengajarkan keyakinan seperti dibawah ini :

1. Tuhan adalah yang menciptakan semesta alam dan seisinya.

2. Tuhan adalah yang menghidupi semua mahluk hidup.

3. Tuhan adalah yang berkuasa atas semesta alam dan semua mahluk hidup.

4. Tuhan adalah yang menjadi penyembahan dan pemujaan umat manusia.

5. Tuhan adalah yang Maha Esa.

Khusus di Indonesia semua agama sepakat dengan butir kelima yang menjadi sila pertama dari Pancasila yaitu KeTuhanan Yang Maha Esa.

Akan tetapi apakah masing masing umat beragama memahami bahwa Tuhannya berbeda dengan Tuhan umat beragama lain? Jawabannya perlu pembahasan dibawah ini.

B. PERBEDAAN PENDAPAT.

1. Perbedaan bahasa.

Masing masing bangsa (umat) menyebut Tuhan sesuai dengan bahasanya, seperti :

Yahudi menyebut dengan nama Yahweh, Arab dengan nama Allah, Hindia – Brahman,

Inggris – God, Yunani – Deo, Bali – Sang Hyang Widhi, Sunda ada yang menyebut Gusti, Jawa dengan berbagai sebutan seperti Pangeran, Hyang Manon, Hyang Widhi, Suksma Kawekas, dll. Termasuk bangsa bangsa lain diseluruh dunia ini menyebut sesuai dengan bahasanya.

Pertanyaannya adalah apakah kalau sebutannya berbeda, dapat dikatakan Tuhannya juga berbeda? Jawabannya perlu uraian dibawah ini.

Umat beragama di dunia ini terutama yang berakal sehat, berpendapat bahwa meskipun berbeda agama, Tuhan tetap sama, karena keyakinan seperti tersebut di bab A. Perbedaan hanya karena bahasa atau sebutannya saja.

Namun ada sebagian umat agama tertentu yang berpendapat bahwa Tuhan yang benar adalah yang sesuai dengan bahasanya atau sebutannya. Dinyatakan bahwa Tuhan yang benar adalah yang sebutannya A, kalau sebutannya B, D, G, H, S dan Y maka itu Tuhan yang salah. Pertanyaannya adalah bagaimana Tuhan Yang Maha Esa, yang memiliki semesta alam seisinya termasuk seluruh bahasa didunia ini, menyikapi pernyataan agama tertentu tersebut?

Tuhan Yang Maha Luhur dan Maha Kasih, sumber segala ilmu lahir dan batin, yang mengatur setiap kejadian seperti kejadian adanya berbagai agama dan berbagai bahasa di dunia ini, pastinya menerima seluruh umat manusia yang menganut berbagai agama dan menggunakan berbagai bahasa dengan tanpa pilih kasih. Ibarat seorang ibu yang memiliki banyak anak, tidak akan membeda bedakan kasih sayangnya meskipun ada salah satu anaknya yang merasa paling benar dan menganggap saudara saudaranya salah. Apalagi Tuhan yang memiliki berbagai umat dunia ini sebagai anak anakNya, tidak akan membeda bedakan satu sama lain, meskipun ada salah satu anakNya yang merasa paling baik. Tuhan Yang Maha Mulia tentu juga tidak terprovokasi oleh yang suka menjelek jelekkan saudara saudaranya. Tapi Tuhan Maha Pengampun, maka mengampuni anakNya yang satu itu, maklum dulu lahir ditempat yang gersang dan panas sehingga bertemperamen keras. Akan tetapi Tuhan juga Maha Adil, maka anakNya yang paling berbakti mendapatkan anugerah berupa kelebihan dari pada yang lain, seperti kecerdasan, kecakapan, ketrampilan, dll kemampuan.

Jadi kesimpulannya Tuhan Yang Maha Esa ini tetap menjadi Tuhannya berbagai agama yang masing masing bisa saja menyebutNya dengan bahasa yang berbeda.

2. Perbedaan pemahaman tentang Tuhan.

Pemahaman tentang (Ilmu) keTuhanan, meliputi segala aspek tentang Tuhan. SifatNya, KarsaNya, keMaha SegalaanNya dan keberadaanNya. Didalam ajaran Islam termasuk Tauhid, sedang didalam ajaran Hindu termasuk Tatwa. Tentunya Tuhan mengajarkan dasar dasar Ilmu keTuhanan yang sama untuk berbagai agama. Apabila terjadi perbedaan, karena pemahaman (penafsiran) yang berbeda. Jadi umat agama yang satu dalam menafsirkan ilmu keTuhanan bisa ada perbedaan dengan umat agama lainnya. Sehingga ada hal hal tertentu yang satu sama lain tafsirannya sama, ada hal hal lain yang tafsirannya berbeda. Bahkan dalam satu agamapun yang berbeda golongan, bisa terjadi beda tafsir. Penyebabnya disamping perbedaan ruang dan waktu, juga karena perbedaan tingkat spiritual dan perbedaan kemampuan daya pikir, yang resultantenya berupa perbedaan tingkat kesadaran berkeTuhanan. Gus Dur secara bergurau menceritakan ada 3 orang yaitu seorang pastur, seorang pendeta Hindu dan seorang kyai, berdialog tentang kedekatan umat dengan Tuhan. Sang pastur mengatakan bahwa umatnya memanggil Tuhan dengan sebutan Bapak, untuk menunjukkan kedekatannya, ibarat bapak dengan anak. Sang pendeta mengatakan bahwa umatnya memanggil Tuhan dengan sebutan Om (yang oleh Gus Dur diartikan sebagai paman), bukankah antara paman dengan keponakan juga dekat. Sang kyai tadinya diam saja, kemudian didesak untuk berpendapat, akhirnya mengatakan : ”Umat saya boro boro dekat dengan Tuhan, untuk memanggil saja harus bikin menara terlebih dulu, sudah itu teriak teriak meskipun sudah pakai pengeras suara, supaya Tuhan yang jauh dilangit sap 7 bisa mendengar”. Guyonan ini menyiratkan perbedaan prinsip tentang dimana Tuhan berada.

Sebagai contoh umat Hindu meyakini bahwa Tuhan sudah berada didalam hati manusia. Sedang umat Islam menafsirkan Tuhan berada di Arasy, yaitu bersinggasana di atas langit sap ke tujuh. Jika demikian apakah Tuhan umat Hindu berbeda dengan Tuhan umat Islam? Untuk menjawab perlu analogi.

Suatu ketika Kulkas, Setlika dan Kipas angin berdialog tentang Sumber tenaganya yaitu Listrik. Kulkas berkata: “Listrik itu dingin, buktinya aliran listrik menjadikan saya menjadi dingin”. Setlika membantah dengan mengatakan: “Kulkas kamu salah, Listrik yang benar itu panas, buktinya kalau Listrik datang, saya menjadi panas”. Kipas angin berpendapat lain lagi: “Listrik yang benar itu berputar dan menimbulkan angin yang segar. Kalau menjadikan rasa dingin atau panas itu bukan Listrik”. Ketiganya berbantah berdasarkan yang dirasakan sendiri, sehingga tak ada ujung penyelesaiannya. Sampai kemudian datang Sarjana Listrik memberikan pencerahan dengan mengatakan: “Kulkas, Setlika dan Kipas angin, kalian semuanya benar sesuai dengan yang masing masing alami dan rasakan. Oleh karena itu tidak perlu menyalahkan satu sama lain. Ketahuilah bahwa Listrik itu dapat menimbulkan dingin, panas dan angin sesuai dengan kapasitas dan potensi kalian masing masing. Bahkan lebih dari itu, bila Lampu berhubungan dengan Listrik dapat menimbulkan cahaya, bila Radio berhubungan dengan Listrik dapat menimbulkan suara, bila TV berhubungan dengan listrik dapat menimbulkan gambar dan masih banyak lagi kemampuan Sang Listrik, sekali lagi sesuai dengan kapasitas dan potensi masing masing”. Setelah mendapatkan pencerahan dari Sarjana Listrik maka ketiga saudara Kulkas, Setlika dan Kipas angin menjadi faham dan rukun kembali.

Demikian pula dengan pemahaman umat Islam, bahwa Tuhan berada di Arasy yaitu singgasana diatas langit sap tujuh. Sedang pemahaman umat Hindu, Tuhan berada didalam hati setiap manusia. Keduanya satu sama lain berbeda pemahaman, tetapi keduanya bisa benar, karena Tuhan meliputi semesta alam dan seisinya. Bahkan apabila ada anggapan Tuhan berada lebih jauh dari langit sap tujuh yaitu di ujung galaxy yang jaraknya dari bumi membutuhkan waktu jutaan tahun kecepatan cahaya, juga tidak salah karena Tuhan memang juga ada disana. Sebaliknya apabila ada pendapat bahwa Tuhan sudah menyatu didalam hati setiap umatnya, sebagaimana anggapan kelompok penghayat kepercayaan, juga tidak dapat disalahkan, karena sekali lagi, Tuhan meliputi semesta alam seisinya baik itu ditempat yang dekat sekali maupun ditempat yang jauh sekali. Orang Jawa bijak menyatukan dua pendapat yang berbeda itu dengan ungkapan : Cedak ora sesenggolan, adoh tanpa antara. Terjemahannya dekat tidak bersinggungan jauh tanpa jarak, yang artinya adalah bertunggalnya umat dengan Tuhan yang meliputi semesta alam seisinya.

Pengalaman penulis tahun 1996 ketika masih dinas di Surakarta, dengan staf berjumlah 40 PNS. Yang beragama Islam sebanyak 30 orang kami kumpulkan di ruang rapat dan ditanya : “Apakah Tuhan agama Kristen sama dengan Tuhan agama Islam?”. Hampir semuanya menjawab tidak sama, kecuali 3 orang yang termasuk Islam Abangan (yang sekedar tercantum di KTP beragama Islam) serta 1 orang penganut kepercayaan (juga ber KTP Islam) menjawab sama. Dilain waktu 10 orang yang beragama Kristen ketika ditanya : “Apakah Tuhan agama Islam sama dengan Tuhan agama Kristen?”. Semuanya menjawab sama. Sambil menguji, pertanyaan kami selanjutnya :”Bagaimana dengan pandangan umat Islam bahwa umat Kristen berTuhan 2 yaitu Tuhan Allah (Allah Sang Bapa) dan Tuhan Yesus (Allah Sang Putra)?”. Sejenak diam hingga ada beberapa orang yang menjawab yang apabila dirangkum jawabannya sbb :

Pada prinsipnya Kristen menganut satu Tuhan juga, sedang sebutan Tuhan Yesus (Allah Sang Putra) mengandung maksud :

1. Bahwa Yesus itu sudah sedemikian dekatnya dengan Allah, ibarat anak dengan bapak, maka disebut Allah Sang Putra. Kami semua ini kalau betul betul menjadi Kristen seperti yang diajarkan Yesus, juga dapat disebut Anak Allah, karena dekat dengan Allah, ibarat anak dengan bapak.

2. Sebutan Tuhan Yesus, untuk memberikan pemahaman dan keyakinan kepada umat Kristen bahwa Yesus itu tidak hanya dekat dengan Tuhan, bahkan Roh Yesus itu sudah menyatu dengan Tuhan. Sehingga segala sesuatu yang dirasakan, diucapkan dan dilakukan Yesus adalah Kehendak Tuhan, Keadilan Tuhan, Kebijaksanaan Tuhan dan Kekuasaan Tuhan.

3. Atas pertanyaan :”Kalau begitu mengapa tidak menyebut saja Tuhan Allah, sedang sebutan Tuhan Yesus tidak usah dipakai?”, jawabnya adalah sebutan Tuhan Yesus untuk menunjukkan identitas sebagai umat Kristiani, sekaligus untuk selalu mengingat Yesus sebagai Nabi, Utusan Tuhan, Juru Penolong, Juru Penghibur dan Juru Penuntun dijalan benar.

Dari rangkuman jawaban diatas, dapat ditambahkan bahwa ungkapan Yesus sebagai Anak Allah adalah kiasan, jadi bukan berarti anak biologis Tuhan. Sebutan Tuhan Yesus diberikan karena pada hakekatnya Yesus itu, mengambil istilah para penghayat kepercayaan, sudah mencapai tingkat Manunggaling Kawula Gusti, didalam ajaran Hindu disebut sebagai Moksha yaitu menyatunya Atman denga Brahman. Sedang Tuhan Yesus dan Tuhan Allah, bukan berarti ada 2 Tuhan. Seperti diagama Islam disebut Al Rahman, Al Rahiim, Al Malik, Al Quddus, Al Salaam, Al Mukmin, dstnya ada 99 nama didalam Asmaul Husna, bukan berarti Tuhan ada 99. Demikian pula didalam ajaran Hindu ada Brahma sebutan untuk Tuhan Yang Maha Pencipta, Wisnu sebutan untuk Tuhan Yang Maha Pemelihara dan Siwa sebutan untuk Tuhan Yang Maha Pelebur; bukan berarti Tuhan ada 3.

C. BETULKAH ADA BANYAK TUHAN?

Sebagian besar umat Islam tingkatan awam, menyatakan bahwa Tuhan yang benar adalah yang satu, bukan 2 dan bukan 3, yang sebutannya Allah. Sang Hyang Widhi, Yahweh, Deo dan God adalah Tuhan agama lain! Pernyataan ini berarti bahwa mereka menganggap ada banyak Tuhan, yaitu Tuhannya agama lain. Ada Tuhan yang namanya Sang Hyang Widhi yang khusus menguasai kehidupan umat Hindu, ada Tuhan yang namanya Yahweh yang khusus mengatur nasib umat Yahudi, dstnya. Jadi bila penduduk dunia ini ada 7 milyard, maka Allah hanya berkuasa terhadap I,5 milyard yang beragama Islam, sedang yang 5,5 milyard dikuasai oleh Tuhan Tuhan lain yang sebutannya bukan Allah? Jika demikian halnya maka Tuhan yang telah menciptakan seluruh umat manusia yang berjumlah 7 milyard ini, tidak diakui oleh umat Islam yang Tuhannya hanya mencipta 1,5 M umat Islam?

Terlepas dari anggapan diatas, adalah suatu fakta (kenyataan) bukan sekedar kepercayaan, bahwa Tuhan Yang Maha Tunggal itu, yang tiada duanya, adalah yang menguasai dan mengatur kehidupan seluruh 7 milyard manusia apapun agamanya dan apapun sebutan yang diberikan kepada Tuhan. Bahkan yang tidak berTuhan atau yang tidak percaya kepada Tuhanpun, tetap dikuasai oleh Tuhan.

Dalam kehidupan sehari hari yang dialami orang perorang, meskipun untuk hal yang sangat sepele sekalipun, tidak bisa lepas dari Kekuasaan Tuhan, Keadilan Tuhan dan Kehendak Tuhan. Jadi sekecil apapun kebaikan akan memperoleh balasan kebaikan, sekecil apapun keburukan akan memperoleh balasan keburukan, inilah bukti Keadilan Tuhan. Didalam ajaran Hindu termasuk bagian dari Hukum Karma, meskipun para kyai dan ustadz mengatakan ajaran Islam tidak ada Hukum Karma, namun setiap umat Islam tetap tidak dapat lepas dari Hukum Karma. Bahkan tujuan hidup umat Hindu yaitu Moksha (Manunggaling Kawula Gusti) adalah tujuan akhir dari setiap Jiwa umat berbagai agama juga, meskipun tidak difahaminya.

D. KESIMPULAN.

1. Masing masing umat beragama pada dasarnya meyakini bahwa semesta alam dan seisinya, termasuk 7 milyard manusia ini, diciptakan dan dikuasai oleh Tuhan Yang Maha Esa.

2. Tuhan Yang Maha Tunggal, sebagai satu satunya pencipta kejadian, termasuk menciptakan kejadian berbagai bahasa dan agama, adalah tetap menjadi satu satunya Tuhan yang dipercayai dan disembah oleh semua umat beragama, meskipun masing masing menyebut dengan nama yang berbeda, sesuai dengan bahasa atau sebutan yang dianut oleh masing masing agama.

3. Perbedaan ajaran agama sebaiknya disikapi secara positif, sebagai pentahapan tingkat kesadaran yang berjenjang. Sedemikian rupa sehingga yang berada ditingkat kesadaran diatas dapat memahami yang masih berada ditingkat kesadaran dibawahnya. Sebaliknya, tidaklah menjadi masalah apabila yang masih berada ditingkat bawah tidak dapat memahami yang diatasnya, karena hal ini adalah wajar. Sehingga apabila ada agama baru yang mengajarkan tingkat kesadaran berkeTuhanan yang masih rendah dengan menganggap Tuhannya yang paling benar dan agamanya yang paling baik, tidak perlu disikapi dengan cara yang sama oleh umat agama yang lebih tua.